Salah satu
persoalan ‘Ulum Al-Qur’an yang masihdipardebatkan sampai sekarang adalah
kategorisasi muhkam dan mutasyabih. Telah dan perdebatan
seputar masalah ini banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan islam, terutama
menyangkut penafsiran Al-Qur’an. Perdebatan itu tidak saja melibatkan
sarjana-sarjana muslim kerena sarjana-sarjana Barat pun ikut mewarnainya. Allah telah
menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu
ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang , gemetar karenanya tubuh orang-orang yang
takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang hati dan hati mereka di waktu
mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada
baginya seorang pemimpinpun.
Pendapat yang
paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yaitu muhkam dan
mutayabih, berdasarkan firman allah berikut.
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu.
di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al
qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat
yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
A.
PENGERTIAN
MUHKAM DAN MUTASYABIH
Menurut
etimologi,
·
Muhkam atinya suatu ungkapan yang dimaksud
makna lahirnya tidak munkin diganti atau diubah . Adapun
·
Mutasyabih adalah unkapan yang maksud makna
lahirnya samar (ma khafiya bi nafh al-lafzh).
Adapun
pengertian menurut terminologi, muhkam dam mutasyabih diungkapkan para ulama,
seperti berikut ini.
1.
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya\dapat diketahui dengan gamblang, baik
melalui takwil (metafora) ataupun tidak. Sementara itu, aya-ayat mutasyabih
adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan
hari Kiamat, keluar Dajjal, dan huruf-huruf muqaththa’ah. Defenisi ini
dikemukakan kelompok ahlussunnah.
2.
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya jelas, sedangkan ayat-ayat
mutasyabih sebaliknya.
3.
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak memunculkan kemungkinan sisi arti lain,
sedangkan ayat-ayat mutasyabih mempunyai kemungkinan sisi arti banyak. Definisi
ini dikemukankan Ibn ‘Abbas.
4.
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya dapat dipahami akal, seperti
bilangan rakaat shalat, kekhususun bulan Ramadhan untuk melaksanakan puasa
wajib, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan
Al-Mawardi.
5.
Aya-ayat muhkam adalah ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam pemaknaannya),
sedangkan ayat-ayat mutasyabih bergantung pada ayat lain.
6.
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya segera dapat diketahui tanpa
penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih memerlukan penakwilan untuk
mengetahui maksudnya.
7.
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang lafazh-lafazhnya tidak berulang-ulang,
sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya.
8.
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang berbicara tentang kefarduan, ancaman, dan
janji, sedangkan ayat-ayat mutasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan
perumpamaan-perumpamaan.
9.
Ibn Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib dari Ibn
‘Abbas yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang menghapus
(nasikh), berbicara tentang halal haram, ketentuan-ketentuan (hudud),
kefarduan, serta yang harus diimanni dan diamalkan. Adapun ayat-ayat mutasyabih
adalah ayat yang dihapus (mansukh), yang berbicara tentang
perumpamaan–parumpamaan (amstal), sumpah (aqsam), dan yang harus diimani,
tetapi tidak harus diamalkan.
10.
‘Abdullah bin Hamid mengeluarkan sebuah riwayat dari Adh-Dhahak bin Al-Muzahim
(W. 105H.) yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak
dihapus, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus.
11.
Ibn abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Muqatil bin Hayyan yang
mengatakn bahwa ayat-ayat mutasyabih adalah seperti alif lam mim, alif lam
ra’,dan alif lam mim ra’.
12.
Ibn abi Hatim mengatakan bahwa Ikrimah (W. 105H), Qatadah bin Di’amah (W.117H).
dan lainnya mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus diimani
dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutsyabih adalah ayat yang harus diimani,
tetepi tidak harus diamalkan.
Dari
pengertian-pangertian diatas, dapat disimpulkan bahwa inti muhkam adalah
ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Masuk kedalam kategori
muhkam adalah nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang
dan tegas, dan memang untuk makna itu ia disebutkan) dan zhahir (makna lahir).
Adapun mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Masuk kedalam
kategori mutasyabih adalah mujmal (global), mu’awwal (harus ditakwilakan),
musykil, dan mubham (ambigius).
B. SIKAP PARA ULAMA TERHADAP AYAT-AYAT
MUHKAM DAN MUTASYABIH.
Para ulama
berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat di ketahui pula
oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Pangkal perbedaan
pendapat itu bermuara pada cara menjelaskan struktur kalimat ayat berikut
7.
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang
lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Ada sedikit
ulama yang berpihak pada penjelasan gramatikal pertama, di antaranya adalah
Mujahid (W. 104H) yang diperolehnya dari ‘Abbas, mengenai surat Ali Imran [3]
ayat 7. Ibn Abbas berkata, “aku di antara orang yang mengetahui takwilnya”. Imam An-Nawawi pun termasuk
dalam kelompok ini. Dalam Syarah Muslim, ia berkata, “pendapat inilah yang paling
sahih karena tidak mungkin Allah meng-khitab-I hamba-hamba-Nya dengan uraian
yang tidak ada jalan untuk mengetahinya”. Ulama lain yang masuk kedalam
kelompok ini adalah Abu Hasan Al-asy’ari dan Abu Ishaq Asy-syirazi (w. 476H).
Asy-Syirazi berkata, “ tidak ada satu ayat pun yang maksudnya
hanya diketahui Allah.” Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya.
Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?”
Sebagian besar
sahabat, tabi’in, dan generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah,
berpihak pada penjelasan gramatikal yang kedua. Ini pula yang merupakan riwayat
paling sahih dari Ibn ‘Abbas.
As-Syuyuti
mengatakan bahwa validitas pendapat kelompok kedua diperkuat riwayat-riwayat
berikut ini:
1. Riwayat yang
dikeluarkan ‘Abd Ar-Razzaq dalam tafsirnya dan Al-Hakim dari Ibn ‘Abbas. Ketika
membaca surat Ali Imran [3]: 7, Ibn ‘Abbas memperlihatkan bahwa huruf wawu pada
ungkapan wa ar-rasikhuna berfungsi sebagai isti’naf (tanda kalimat baru).
Riwayat ini, walaupun tidak didukung salah satu ragam qira’ah, derajatnya
[serendahn-rendahnya] adalah khabar dengan sanad sahih yang berasal dari
turjuman Al-Qur’an (Ahli tarjamah Al-Qur’an,julukan Ibn ‘Abbas). Oleh karena
itu, pendapat nya harus didahulukan daripada pendapat selainnya. Pendapat ini
didukung pula kenyataan bahwa surat Ali ‘Imran [3] ayat 7 mencela orang-orang
yang memanfaatkan ayat-ayat mutasyabih untuk menuruti hawa nafsunya dengan
mengatakan “hatinya ada kecendrungan pada kesesatan” dan menimbulkan fitnah.”
Sebagai bandingannya, Allah memuji orang-orang yang menyerahkan sepenuhnya
pengetahuan tentang ayat-ayat mutasyabih kepada-nya sebagai mana Allah pun
telah memuji orang-orang yang mengimani kegaibannya.
2. Ibn Abu
Dawud, dalam Al-Mayahif, mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-A’masy. Ia
menyebutkan bahwa diantara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan:
Artinya:
“sesunggunya
penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik allah semata, sedangkan orang-orang
yang mendalami ilmunya berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabih.”
3. Al- bukhari,
Muslim, dan lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang mengatakan
bahwa Rasullah SAW. Pernah bersabda ketika mengemontari surat Ali Imran [3]
ayat 7 berikut:
Artinya:
“jika engakau menyaksikan orang –orang
yang mengikuti ayat-ayat mutasyabbih untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya, orang itulah yang dicela allah maka berhati-hatilah
menghadapi mereka.”
4. Ath-Thabari,
dalam Al-Kabir, mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Malik Al- Asy’ari. Ia
pernah mendengar rasulullah saw, Bersabda:
Artinya:
“ada tigal hal yang aku khawatirkan dari umatku,
yaitu pertama, menupuk-numpuk harta sehingga memuculkan difat hasad dan
menyebabkan terjadinya pembunuhan. Kedua, mencari-cari takwil ayat-ayat
mutasyabih, padahal hanya allah-lah yang mengetahuinya.....”
5. Ibn Ali Hatim
mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah bahwa yang dimaksud dengan kedalaman
ilmu pada surat Ali ‘Imran [3] ayat 7 itu adalah mengimani ayat-ayat
mutasyabih, bukan berusaha untuk mengetahuinya.
6. Ad-Darimi, dalam
musnad-nya, mengeluarkan sebuah riwayat dari Sulaiman bin Yasar yang menyatakan
bahwa seseorang pria yang bernama Shabigh tiba di Madinah. Kemudian, ia
bertanya-tanya tentang takwil ayat-ayat mutasyabih. Ia lalu diperintahkan untuk
menemui ‘Umar. ‘Umar sedang memasang tangga ke pohon kurma ketika orang itu
menemuinya. “siapakah engkau?” tanya Umar. “saya adalah ‘Abdullah bin Shabigh.”
‘Umar lalu memukul orang itu dengan beberapa kayu dari tangga sehingga kepala
orang itu berdarah. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ‘Umar memukul orang itu
dengan cambuk sehingga meninggalkan orang itu dengan cambuk sehingga
meninggalkan bekas pada punggungnya.
Ar-Raghib
Al-Asfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi persoalan ini. Ia membagi
ayat-ayat mutasyabih [dari segi kemungkinan mengetahui maknanya] pada tiga
bagian:
1. Bagian yang tidak ada jalan sama sekali
untuk mengetahuinya, seperti saat terjadinya hari Kiamat, keluar binatang dari
bumi, dan sejenisnya.
2. Bagian yang menyebabkan manusia dapat
menemukan jalan untuk mengetahuinya, seperti kata-kata asing di dalam
Al-Qur’an.
3. Bagian yang terletak diantara keduanya,
yakni yang hanya dapat diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya.
Inilah yang diisyaratkan sabda Nabi kepada Ibn ‘Abbas:
Artinya:
“ya allah, berilah pemahaman kepadanya dalam bidang
agama dan ajarknlah takwil lepadanya.”
C. CONTOH AYAT-AYAT MUTASYABIH
Diantara
ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah. Ibn
Al-Labban telah menulisnya secara khusus dalam Kitab Radd al-ayat
Al-Mutasyabihat. Contoh:
Tuhan yang Maha
Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
Qs.Toha.5.
C. SIKAP PARA ULAMA PADA AYAT-AYAT MUTASYABIH
Sikap
para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1.
Madzhab salaf, yaitu para ulama yang memercayai dan mengimani ayat-ayat
mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilahi).
Meereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi
Allah dan mengimaninya sebagai mana yang diterangkan Al-Qur’an. Diantara ulama
yang masuk kedalam kelompok ini adalah Imam Malik. “istiwa” itu maklum, sedangkan caranya tidak diketahui, dan
mempelajarinya bid’ah. Aku mengira engkau adalah orang tidak baik, keluarkan
dia dari tempatku.”
Ibn
Ash-Shalah menjelaskan bahwa madzhab salaf ini dianut oleh generasi dan para
pemuka umat islam pertama. Madzhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para
pemuka fiqih. Kepada mazdhab ini pulalah, para imam dan pemuka hadis mengajak
para pengikutnya. Tidak ada seorangpun diantara para teolog dari kalangan kami
yang menolak mazhab ini.
2.
Mazdhab khalaf ,yaitu para ulama yang berperndapat perlunya menakwilkan
ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti
yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama
mutaakhirin. Imam Al-Haramian (W. 478H) pada mulanya termasuk mazdhab ini,
tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam Ar-Risalah An-Nizhamiyyah, ia
menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengukuti mazdhab
salaf sebab mereka memperoleh derajat dengan cara tidak tidak menyinggung
ayat-ayat mutasyabih.
Berbeda
dengan ulama salaf yang mensucikan Allah dari pengertian lahir ayat-ayat
mutasyabih itu, mengalami hal-hal gaib sebagai mana dituturkan Al-Qur’an, dan
menyerahkan bulat-bulat pengertian ayat itu kepada Allah, ulama khalaf
memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih. Istiwa’ dita’wilkan dengan “keluhuran” yang abstrak, berupa
pengadilan Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. “Kedatangan Allah”
ditakwilkan dengan kedatangan perintahnya. “Allah berada di atas hamba-Nya”
menunjukkan Kemahatinggian-Nya, bukan menunjukkan bahwa dia bahwa dia menempati
suatu tempat. “Sisi Allah” di takwilakan dengan hak allah. “Wajah dan mata
Allah” ditakwilkan dengan pengawasan-Nya. “Tangan”ditakwilkan dengan
kekuasaan-Nya, dan “diri” ditakwilkan dengan siksa-Nya. Demikianlah, prinsip
penafsiran ulama khalaf. Kesan-kesan Allah pada ayat-ayat Al-Qur’an ditakwilkan
dengan arti yang cocok dengan kesucian Allah.
Untuk
menengahi kedua mazdhab yang kotradiktif itu, Ibn Ad-Daqiq Al-’Id mengatakan
apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih di kenal oleh
lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal lisan Arab,
kita harus menagmbil sikaf tawaqquf (tidak
memebenarkan dan tidak pula menyalahkan) dan mengimani maknanya sesui apa
yang dimaksud ayat-ayat tersebut dalam menyucikan Allah. Namun, bila arti lahir
ayat dapat dipahami melalui perckapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil
sikap tawaqquf.
Contonya
adalah Q. S. Az-Zuamar [39] ayat 56 yang kami memaknai dengan hak dan kewajiban
Allah.
Artinya:
Adapun orang-orang yang kafir, Maka akan
Ku-siksa mereka dengan siksa yang sangat keras di dunia dan di akhirat, dan
mereka tidak memperoleh penolong.
Ibn
Qutaibah menentukan dua syarat bagi absahnya penakwilan.
Pertama, makna yang
dipilih sesui dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki
otoritas.
Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh
bahasa Arab klasik. Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar daripada syarat
kelompok Azh-Zhahariyyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus
dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.
D HIKMAH KEBERADAAN AYAT MUTASYABIH
DALAM AL-QUR’AN.
Diantara
hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam Al-Qur’an dan ketidak mampuan
akal untuk mengetahuinya adalah berikiut ini:
1.
Memperlihatkan kelemahan akal manusia
Akal
sedang dicoba untuk menyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah
memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan
anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tetunya seseorang yang
berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuanya sehingga enggan tunduk
kepada naruli kehambaannya.
Ayat-ayat
mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena
kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya untuk mengugkap ayat-ayat mutasyabih
itu.
2.
Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih
Pada
penghujung surat Ali ‘Imran [3] ayat 7, Allah menyebutkan wa ma yazdzdakkaru
illa ulu Al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengotak-atik
ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang
mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk
mengotak-ati ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzigh
qulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
3. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui
pengalaman indrawi yang biasa disaksikannya.
Sebagai
mana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala Ia diberi gambaran
indrawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja ia memberi
gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-nya. Bersama dengan
itu, Allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal
pemilikan anggota badan.
PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Saya banyak berharap kepada mahasiswa / mahasiswi yang budiman sudilah kiranya memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi kami pada khususnya dan juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Jurjani, At-Ta’arifat, Ath-Thaha’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi. Jeddah. t.t.
- Andrew Rippin, “Lexiographical Text and the Quran”, dalam Andrew Rippin (Ed.), Approaches to the history of the Quran, clarendom press, Oxfort, 1988.
- Ibn Jarir Ath-Thabari, Tarsir Ath-Thabari, t.t.
- Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim.
- Ibnu Khallikan, Wafayat Al-A’yan.
- Manna Al-Qathhan, Mabahist fi ‘Ulumi Al-Qur’an, mansyurat al-hadis ttp., 1973.
- Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Mutiara ilmu-ilmu Al-Qur’an, tej. Rosihon anwar, pustaka setia, Bandung, 1999.
- Quraish Shihab, membumikan Al-Qur’an, mizan, Bandung, 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar