Minggu, 02 Desember 2012

Almuhkam walmutasyabih



PENDAHULUAN
Salah satu persoalan ‘Ulum Al-Qur’an yang masihdipardebatkan sampai sekarang adalah kategorisasi muhkam dan mutasyabih. Telah dan perdebatan seputar masalah ini banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan islam, terutama menyangkut penafsiran Al-Qur’an. Perdebatan itu tidak saja melibatkan sarjana-sarjana muslim kerena sarjana-sarjana Barat pun ikut mewarnainya. Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang , gemetar karenanya tubuh orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang hati dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.

Pendapat yang paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yaitu muhkam dan mutayabih, berdasarkan firman allah berikut.
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

A.            PENGERTIAN MUHKAM DAN MUTASYABIH
Menurut etimologi,
·         Muhkam atinya suatu ungkapan yang dimaksud makna lahirnya tidak munkin diganti atau diubah . Adapun
·         Mutasyabih adalah unkapan yang maksud makna lahirnya samar (ma khafiya bi nafh al-lafzh). 
Adapun pengertian menurut terminologi, muhkam dam mutasyabih diungkapkan para ulama, seperti berikut ini.

1. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya\dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil (metafora) ataupun tidak. Sementara itu, aya-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari Kiamat, keluar Dajjal, dan huruf-huruf muqaththa’ah. Defenisi ini dikemukakan kelompok ahlussunnah.

2. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya jelas, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya.

3. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak memunculkan kemungkinan sisi arti lain, sedangkan ayat-ayat mutasyabih mempunyai kemungkinan sisi arti banyak. Definisi ini dikemukankan Ibn ‘Abbas.

4. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya dapat dipahami akal, seperti bilangan rakaat shalat, kekhususun bulan Ramadhan untuk melaksanakan puasa wajib, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan Al-Mawardi.

5. Aya-ayat muhkam adalah ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam pemaknaannya), sedangkan ayat-ayat mutasyabih bergantung pada ayat lain.

6. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya segera dapat diketahui tanpa penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih memerlukan penakwilan untuk mengetahui maksudnya.
7. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang lafazh-lafazhnya tidak berulang-ulang, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya.

8. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang berbicara tentang kefarduan, ancaman, dan janji, sedangkan ayat-ayat mutasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan.

9. Ibn Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib dari Ibn ‘Abbas yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang menghapus (nasikh), berbicara tentang halal haram, ketentuan-ketentuan (hudud), kefarduan, serta yang harus diimanni dan diamalkan. Adapun ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus (mansukh), yang berbicara tentang perumpamaan–parumpamaan (amstal), sumpah (aqsam), dan yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.

10. ‘Abdullah bin Hamid mengeluarkan sebuah riwayat dari Adh-Dhahak bin Al-Muzahim (W. 105H.) yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak dihapus, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus. 

11. Ibn abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Muqatil bin Hayyan yang mengatakn bahwa ayat-ayat mutasyabih adalah seperti alif lam mim, alif lam ra’,dan alif lam mim ra’.

12. Ibn abi Hatim mengatakan bahwa Ikrimah (W. 105H), Qatadah bin Di’amah (W.117H). dan lainnya mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutsyabih adalah ayat yang harus diimani, tetepi tidak harus diamalkan. 
Dari pengertian-pangertian diatas, dapat disimpulkan bahwa inti muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Masuk kedalam kategori muhkam adalah nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas, dan memang untuk makna itu ia disebutkan) dan zhahir (makna lahir). Adapun mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Masuk kedalam kategori mutasyabih adalah mujmal (global), mu’awwal (harus ditakwilakan), musykil, dan mubham (ambigius).

B. SIKAP PARA ULAMA TERHADAP AYAT-AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIH.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat di ketahui pula oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Pangkal perbedaan pendapat itu bermuara pada cara menjelaskan struktur kalimat ayat berikut
7. Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Ada sedikit ulama yang berpihak pada penjelasan gramatikal pertama, di antaranya adalah Mujahid (W. 104H) yang diperolehnya dari ‘Abbas, mengenai surat Ali Imran [3] ayat 7. Ibn Abbas berkata, “aku di antara orang yang mengetahui takwilnya”. Imam An-Nawawi pun termasuk dalam kelompok ini. Dalam Syarah Muslim, ia berkata, “pendapat inilah yang paling sahih karena tidak mungkin Allah meng-khitab-I hamba-hamba-Nya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahinya”. Ulama lain yang masuk kedalam kelompok ini adalah Abu Hasan Al-asy’ari dan Abu Ishaq Asy-syirazi (w. 476H). Asy-Syirazi berkata, “ tidak ada satu ayat pun yang maksudnya hanya diketahui Allah.” Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?” 
Sebagian besar sahabat, tabi’in, dan generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah, berpihak pada penjelasan gramatikal yang kedua. Ini pula yang merupakan riwayat paling sahih dari Ibn ‘Abbas. 
As-Syuyuti mengatakan bahwa validitas pendapat kelompok kedua diperkuat riwayat-riwayat berikut ini: 

1. Riwayat yang dikeluarkan ‘Abd Ar-Razzaq dalam tafsirnya dan Al-Hakim dari Ibn ‘Abbas. Ketika membaca surat Ali Imran [3]: 7, Ibn ‘Abbas memperlihatkan bahwa huruf wawu pada ungkapan wa ar-rasikhuna berfungsi sebagai isti’naf (tanda kalimat baru). Riwayat ini, walaupun tidak didukung salah satu ragam qira’ah, derajatnya [serendahn-rendahnya] adalah khabar dengan sanad sahih yang berasal dari turjuman Al-Qur’an (Ahli tarjamah Al-Qur’an,julukan Ibn ‘Abbas). Oleh karena itu, pendapat nya harus didahulukan daripada pendapat selainnya. Pendapat ini didukung pula kenyataan bahwa surat Ali ‘Imran [3] ayat 7 mencela orang-orang yang memanfaatkan ayat-ayat mutasyabih untuk menuruti hawa nafsunya dengan mengatakan “hatinya ada kecendrungan pada kesesatan” dan menimbulkan fitnah.” Sebagai bandingannya, Allah memuji orang-orang yang menyerahkan sepenuhnya pengetahuan tentang ayat-ayat mutasyabih kepada-nya sebagai mana Allah pun telah memuji orang-orang yang mengimani kegaibannya.

2. Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mayahif, mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-A’masy. Ia menyebutkan bahwa diantara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan:
Artinya:
“sesunggunya penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik allah semata, sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih.”

3. Al- bukhari, Muslim, dan lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasullah SAW. Pernah bersabda ketika mengemontari surat Ali Imran [3] ayat 7 berikut:
Artinya:
“jika engakau menyaksikan orang –orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabbih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah yang dicela allah maka berhati-hatilah menghadapi mereka.” 

4. Ath-Thabari, dalam Al-Kabir, mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Malik Al- Asy’ari. Ia pernah mendengar rasulullah saw, Bersabda:
Artinya:
“ada tigal hal yang aku khawatirkan dari umatku, yaitu pertama, menupuk-numpuk harta sehingga memuculkan difat hasad dan menyebabkan terjadinya pembunuhan. Kedua, mencari-cari takwil ayat-ayat mutasyabih, padahal hanya allah-lah yang mengetahuinya.....”

5. Ibn Ali Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah bahwa yang dimaksud dengan kedalaman ilmu pada surat Ali ‘Imran [3] ayat 7 itu adalah mengimani ayat-ayat mutasyabih, bukan berusaha untuk mengetahuinya.

6. Ad-Darimi, dalam musnad-nya, mengeluarkan sebuah riwayat dari Sulaiman bin Yasar yang menyatakan bahwa seseorang pria yang bernama Shabigh tiba di Madinah. Kemudian, ia bertanya-tanya tentang takwil ayat-ayat mutasyabih. Ia lalu diperintahkan untuk menemui ‘Umar. ‘Umar sedang memasang tangga ke pohon kurma ketika orang itu menemuinya. “siapakah engkau?” tanya Umar. “saya adalah ‘Abdullah bin Shabigh.” ‘Umar lalu memukul orang itu dengan beberapa kayu dari tangga sehingga kepala orang itu berdarah. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ‘Umar memukul orang itu dengan cambuk sehingga meninggalkan orang itu dengan cambuk sehingga meninggalkan bekas pada punggungnya.
Ar-Raghib Al-Asfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi persoalan ini. Ia membagi ayat-ayat mutasyabih [dari segi kemungkinan mengetahui maknanya] pada tiga bagian: 
1. Bagian yang tidak ada jalan sama sekali untuk mengetahuinya, seperti saat terjadinya hari Kiamat, keluar binatang dari bumi, dan sejenisnya.
2. Bagian yang menyebabkan manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahuinya, seperti kata-kata asing di dalam Al-Qur’an.
3. Bagian yang terletak diantara keduanya, yakni yang hanya dapat diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya.
Inilah yang diisyaratkan sabda Nabi kepada Ibn ‘Abbas:
Artinya:
“ya allah, berilah pemahaman kepadanya dalam bidang agama dan ajarknlah takwil lepadanya.”

C. CONTOH AYAT-AYAT MUTASYABIH
Diantara ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah. Ibn Al-Labban telah menulisnya secara khusus dalam Kitab Radd al-ayat Al-Mutasyabihat. Contoh:
 Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
Qs.Toha.5.

C. SIKAP PARA ULAMA PADA AYAT-AYAT MUTASYABIH
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Madzhab salaf, yaitu para ulama yang memercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilahi). Meereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagai mana yang diterangkan Al-Qur’an. Diantara ulama yang masuk kedalam kelompok ini adalah Imam Malik. “istiwa” itu maklum, sedangkan caranya tidak diketahui, dan mempelajarinya bid’ah. Aku mengira engkau adalah orang tidak baik, keluarkan dia dari tempatku.” 
Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa madzhab salaf ini dianut oleh generasi dan para pemuka umat islam pertama. Madzhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para pemuka fiqih. Kepada mazdhab ini pulalah, para imam dan pemuka hadis mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorangpun diantara para teolog dari kalangan kami yang menolak mazhab ini. 

2. Mazdhab khalaf ,yaitu para ulama yang berperndapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama mutaakhirin. Imam Al-Haramian (W. 478H) pada mulanya termasuk mazdhab ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam Ar-Risalah An-Nizhamiyyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengukuti mazdhab salaf sebab mereka memperoleh derajat dengan cara tidak tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih. 
Berbeda dengan ulama salaf yang mensucikan Allah dari pengertian lahir ayat-ayat mutasyabih itu, mengalami hal-hal gaib sebagai mana dituturkan Al-Qur’an, dan menyerahkan bulat-bulat pengertian ayat itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih. Istiwa’ dita’wilkan dengan “keluhuran” yang abstrak, berupa pengadilan Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. “Kedatangan Allah” ditakwilkan dengan kedatangan perintahnya. “Allah berada di atas hamba-Nya” menunjukkan Kemahatinggian-Nya, bukan menunjukkan bahwa dia bahwa dia menempati suatu tempat. “Sisi Allah” di takwilakan dengan hak allah. “Wajah dan mata Allah” ditakwilkan dengan pengawasan-Nya. “Tangan”ditakwilkan dengan kekuasaan-Nya, dan “diri” ditakwilkan dengan siksa-Nya. Demikianlah, prinsip penafsiran ulama khalaf. Kesan-kesan Allah pada ayat-ayat Al-Qur’an ditakwilkan dengan arti yang cocok dengan kesucian Allah.
Untuk menengahi kedua mazdhab yang kotradiktif itu, Ibn Ad-Daqiq Al-’Id mengatakan apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih di kenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal lisan Arab, kita harus menagmbil sikaf tawaqquf (tidak memebenarkan dan tidak pula menyalahkan) dan mengimani maknanya sesui apa yang dimaksud ayat-ayat tersebut dalam menyucikan Allah. Namun, bila arti lahir ayat dapat dipahami melalui perckapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawaqquf.
Contonya adalah Q. S. Az-Zuamar [39] ayat 56 yang kami memaknai dengan hak dan kewajiban Allah. 
Artinya:
Adapun orang-orang yang kafir, Maka akan Ku-siksa mereka dengan siksa yang sangat keras di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong.

Ibn Qutaibah menentukan dua syarat bagi absahnya penakwilan.
Pertama, makna yang dipilih sesui dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik. Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar daripada syarat kelompok Azh-Zhahariyyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal. 
D             HIKMAH KEBERADAAN AYAT MUTASYABIH DALAM  AL-QUR’AN.
Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam Al-Qur’an dan ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya adalah berikiut ini: 

1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia
Akal sedang dicoba untuk menyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tetunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuanya sehingga enggan tunduk kepada naruli kehambaannya.
Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya untuk mengugkap ayat-ayat mutasyabih itu.

2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih
Pada penghujung surat Ali ‘Imran [3] ayat 7, Allah menyebutkan wa ma yazdzdakkaru illa ulu Al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-ati ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzigh qulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.

3. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman indrawi yang biasa disaksikannya.
Sebagai mana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala Ia diberi gambaran indrawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja ia memberi gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-nya. Bersama dengan itu, Allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan.
PENUTUP

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Saya banyak berharap kepada mahasiswa / mahasiswi yang budiman sudilah kiranya memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi kami pada khususnya dan juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Jurjani, At-Ta’arifat, Ath-Thaha’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi. Jeddah. t.t.
  • Andrew Rippin, “Lexiographical Text and the Quran”, dalam Andrew Rippin (Ed.), Approaches to the history of the Quran, clarendom press, Oxfort, 1988.
  • Ibn Jarir Ath-Thabari, Tarsir Ath-Thabari, t.t.
  • Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim.
  • Ibnu Khallikan, Wafayat Al-A’yan. 
  • Manna Al-Qathhan, Mabahist fi ‘Ulumi Al-Qur’an, mansyurat al-hadis ttp., 1973.
  • Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Mutiara ilmu-ilmu Al-Qur’an, tej. Rosihon anwar, pustaka setia, Bandung, 1999.
  • Quraish Shihab, membumikan Al-Qur’an, mizan, Bandung, 1992.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Flag Counter