Persoalan
metodologi dan metode merupakan persoalan yang sangat signifikan dalam sejarah
pertumbuhan ilmu. Pemahaman terhadap metodologi dan metode akan sangat
mempengaruhi laju kemajuan dunia ilmu. Dalam kerangka ini, perlu diketahui
bahwa pada abad pertengahan, Eropa menghabiskan waktu seribu tahun dalam
keadaan stagnasi dan masa kebodohan. Namun kondisi semacam itu berubah secara
revolusioner, terjadi kebangkitan di berbagai bidang kehidupan, sains, seni,
politik, ekonomi dan seterusnya.
Ali syari’ati (1933
– 1977), seorang intelektual dari iran, menyatakan bahwa faktor utama yang
menyebabkan stagnasi pemikiran, peradaban, dan kebudayaan abad itu adalah
metode – metode yang nantinya akan ditempuh guna lebih mendalami obyek ilmu.
Metode ilmiah
dibangun dari cara berpikir deduktif dan induktif. Dengan deduktif diharapkan
mampu memberikan sifat rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat
konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Sedangkan yang
dimaksud dengan berpikir induktif adalah untuk memberikan pembenaran empirik
kepada pengetahuan yang telah dirasionalisasi oleh berpikir deduktif. Kedua hal
ini sangat penting. Tanpa salah satu dari pemikiran tersebut, maka ilmu itu
akan pincang.
Metode ilmiah
setelah pengetahuan diberikan penjelasan rasional / deduktif, sebelum teruji
secara empirik / induktif semua penjelasan tersebut hanyalah bersifat
sementara, penjelasan sementara ini biasa kita sebut dengan istilah hipotesis.
Sebenarnya kita dapat mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan
hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik.
Didalam terapan
ilmiah, obyeklah yang menentukan metode dan bukan sebaliknya, metode menentukan
obyek misalnya : ada pendapat bahwa suatu gejala yang tak bisa
dikualifikasikan, tidak dapat dinilai sebagai suatu gejala yang dapat dipandang
sebagai obyek studi ilmiah. Lain pendapat mengatakan bahwa suatu gejala yang
tidak memungkinkan dilaksanakannya metode eksperimen, juga tidak dapat
dijadikan obyek studi ilmiah.1tidak memungkinkan dilaksanakannya
B. Permasalahan
Fuad hassan dan koentjaraningrat, dalam
(koentjaraningrat, 1997 : 7 – 9)
1. Apakah
perbedaan antara metodologi dan metode ilmu?
2.Bagaimanakah
pengaruh metodologi dan metode keilmuan dari Ilmu
Tauhid Amali dalam laju dunia ilmu?
C. Pembahasan
1. perbedaan
antara metodologi dan metode ilmu
Istilah metode
berasal dari bahasa Yunani (meta = sepanjang dan hodos = jalan) di atas memang
berarti jalan menuju: oleh karena itu, menurut Menne. Yang dimaksud dengan
metode ialah prosedur atau cara, yang dengannya tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya dapat dicapai secara efektif.
Sebagai bagian utuh dari proses alih
keberagamaan masa rasul ke masa modern ini, ilmu tauhid amali harus menerima
posisi Al – qur’an dan sunnah. Penolakan terhadapnya akan dengan sendirinya
menggugurkan status sebagai pemeluk ajaran islam dan mengubah status perilaku
iman.Al – qur’an dan sunnah didudukkan sebagai sumber pertama dan utama dalam
metode ilmu ini.
Kitab suci Al-Qur’an adalah petunjuk
bagi orang – orang bertakwa.
2 Pengertian
yang perlu didalam kosa kata “ petunjuk” adalah unsur sebagai sumber dalam
proses pengembangan ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh orang beriman.
Pengertian sumber ini berarti didalamnya ditemukan bahan – bahan yang diperlukan
oleh Ilmu Tauhid Amali, agar memenuhi fungsinya sebagai pendukung proses alih
keberagamaan. Disini diperlukan tafsir dengan metode yang dapat diterima, dan
terutama adalah tafsir dengan metode yang memungkinkan pengembangan pemahaman,
mengembangkan potensi ilmu tersebut
3. Diantara
ragam metode ilmu tafsir yang memiliki potensi adalah tafsir Al – ilmi,
disamping metode – metode lainnya. Melalui metode tafsir ini posisi Al – Qur’an
dan sunnah sebagai sumber kebenaran bagi Ilmu Tauhid Amali dapat semakin
dikembangkan dengan telaah tentang struktur logis dari ayat dan proposisi yang
terkandung didalamnya.
Sedangkan
pengertian metodologi ilmu adalah ilmu mengenai metode. Dalam pengertian yang
lebih luas, metodologi membahas prosedur intelektual dalam totalitas komunitas
ilmiah.
munculnya metode maupun metodologi
keilmuan yang berbeda untuk ikut
berkontestasi dalam mengembangkan suatu
disiplin keilmuan dirasa lebih berguna.
Konsekuensinya, apapun hipotesis maupun
teori yang digunakan, baik itu rasional maupun yang paling tidak masuk akal,
harus diakui secara sebagai sebuah bagian dari metodologi keilmuan.
Kemudian tolak
ukur keberhasilan dari teori-teori yang baru tersebut tidak harus selalu
mengekor teori lama, ataupun harus mengacu kepada suatu bentuk yang dianggap
mendekati sempurna. Kemunculan teori-teori baru itupun sudah dianggap sebagai
kemajuan karena memang sangat sulit untuk memunculkan paradigma- paradigma lain
dengan berbagai faktor akademis maupun budaya dan politik yang ikut mengekang jalannya
suatu keilmuan. “Ada pemisahan antara negara dan agama, tapi tidak ada pemisaha
antara negara dan ilmu pengetahuan.”.4
2.Pengaruh Metodologi dan Metode
Keilmuan dari Ilmu Tauhid Amali
dalam Laju Dunia Ilmu
Kerangka
berfikir dan metodologi klasik yang tekstualistik dan mengalami proses
mistifikasi, untuk masa kini tampaknya tidak lagi diharapkan mampu memberikan
jawaban pemecahan atas berbagai persoalan kehidupan yang senantiasa berjalan
bersama dengan proses perubahan kehidupan yang terus bergulir. Realitas yang
tak terbantahkan menunjukkan bahwa produk-produk pemikiran tradisional kaum
muslimin tidak mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Keadaan ini
seharusnya menyadarkan kaum muslimin untuk menelaah kembali tradisi pemikiran
mereka secara kritis. kaum muslimin harus membangun kembali konstruksi keilmuan
dan metodologinya sebagaimana yang pernah dimiliki.. Ilmu-ilmu Islam harus
dikembangkan untuk dapat memasuki wacana-wacana kontemporer dengan menggunakan
metodologi yang relatif lebih sesuai dengan perkembangan modernitas dan
intelektualitas manusia modern.
Beberapa metode
yang pernah digunakan kaum muslimin awal sudah waktunya untuk digali dan
diaktualisasikan kembali.Pertama adalah cara pandangan dikotomistik antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum harus sudah diakhiri,. Kedua,
pandangan-pandangan yang selama ini berkembang bahwa “ijtihad” telah tertutup
dan tidak mungkin ada lagi orang yang mampu menandingi kwalifikasi intelektual
generas awal, juga perlu ditinjau kembali. Untuk hal ini tentu saja dituntut
kesediaan dan keberanian kaum muslimin untuk melakukan kerja-kerja intelektual
yang mampu menerobos kebuntuan-kebuntuan dinamika kaum muslimin.
Para ahli sejarah berbeda
pendapat tentang kapan Islam masuk ke ke Tatar Sunda. Demikian pula cara masuknya Islam ke tatar Sunda, ada
yang menyebutkan bahwa masuknya Islam ke tatar Sunda melalui perdagangan atau
niaga; ada pula melalui penyebaran yang dilakukan secara sengaja oleh para
wali. Masing-masing pendapat tersebut memiliki argumen dan bukti yang bisa
dipertanggungjawabkan. Hal tersebut tampak pada karakteristik keagamaan yang
sangat beragam di tatar Sunda, baik yang berada di pesisir maupun di pedalaman,
yang masing-masing memiliki karakteristik keberagamaan yang khas, berbeda.
Cara dan waktu
penyebaran Islam di tatar Sunda tersebut telah melahirkan corak keberagamaan
yang khas, khususnya ketika bertemu dengan sistem sosio-budaya setempat. Dalam
tradisi ilmu-ilmu Islam klasik; aspek-aspek studi keislaman terbagi dalam
bidang ushuluddin (tauhid atau ilmu kalam), syariah (fiqh), dan tasawuf .
Selain ketiga bidang tersebut terdapat bidang lain, yaitu studi (kajian)
terhadap sumber ajaran dan studi metodologis seperti tafsir dan ulumul quran,
hadits dan ulumul hadits, mantiq (logika), bahasa dengan berbagai sub-bidang
kajian lainnya. Sistem pembagian tesabut digunakan pula dalam sistem pendidikan
Islam tradisonal secara umum di Indonesia (pesantren).
Ilmu Kalam
secara disipliner lebih banyak disajikan sebagai dogma-dogma aqidah, bukan
sebagai diskursus ilmiah. Berbeda dengan bidang tasawuf dan syariah yang sering
menjadi pembicaraan hangat di antara para ulama. Bidang kalam dianggap sebagai
wilayah riskan untuk dibicarakan. Perbedaan pemahaman dalam bidang fiqh dan
tasawuf, walaupun sering berakibat terjadinya perpecahan di antara mereka, akan
tetapi fenomena tersebut di anggap biasa. Lain halnya dengan persoalan kalam.
Mereka seperti telah sepakat menggunakan kalam Asy’ariyah; sehingga kalam
menjadi doktrin yang tabu untuk dibicarakan (diperdebatkan).
Ilmu kalam merupakan sebuah bentuk
rasionalisasi aqidah Islam sekaligus upaya pencarian dan perumusan
argumen-argumen rasionalnya. Ilmu kalam lahir sebagai jawaban dan tantangan
terhadap sistem aqidah di luar Islam yang menggunakan metode rasional
filosofis, baik secara langsung ataupun tidak, bermaksud menjatuhkan
rasionaltitas aqidah Islam. Dengan demikian, ilmu kalam pada masa itu masih
merupakan pengetahuan murni, bukan pengetahuan praktis. Karena itu Al-Ghazali
mengkritik kerja para ahli kalam (mutakalimin) sebagai kegiatan yang tidak
bermanfaat bagi peningkatan keimanan umat Islam pada umumnya. Pemikiran Kalam
hanya memenuhi hasrat intelek bagi kelompok tertentu dan terbatas. Sementara
umat Islam pada umumnya tidak bisa menarik manfaat dari hasil kerja mereka.
Lain halnya dengan pemikiran-pemikiran atau pemikiran Ijitihad para fuqaha yang
berhubungan langsung dengan persoalan-persoalan kehidupan umat Islam
sehari-hari, baik dalam bidang kehidupan keagamaan maupun dalam kehidupan sosial
lainnya.
Al-Ghazali
membedakan pengertian kalam dengan ilmu tauhid. Dalam Al-Risalah al-Laduniyyah
(Risalah tentang Ilmu Laduni), Al-Ghazali memasukkan ilmu tauhid sebagai salah
satu cabang ilmu syariat yang membahas pokok-pokok agama (ushuluddin). Menurutnya,
tauhid merupakan penghayatan terhadap doktrin-doktrin yang berkenaan dengan
akidah dan ilmu kalam merupakan suatu upaya perumusan argumen-argumen rasional
tentang sistem keyakinan atau akidan Islam; dengan maksud untuk mempertahankan
akidah Islam dari serangan sistem teologi di luar Islam (baik agama maupun
filsafat) yang saat itu telah menggunakan argumen rasional. Dengan demikian,
yang membedakannya adalah aspek metodologis dan orientasi pendekatan yang
digunakan. Ilmu tauhid lebih menekankan pada bagaimana doktrin teologis Islam
dihayati dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari; sedangkan ilmu kalam
digunakan sebagai apologi rasional ketika berhadapan dengan sistem keyakinan
yang berseberangan dengan sistem akidah Islam.
Ilmu kalam klasik (abad pertengahan
Islam) mendapat bentuknya secara permanen, terutama setelah berkembangnya
filsafat Islam yang bercorak Aristotelian dan Platonian. Pada perkembangannya
ini, ilmu kalam menjadi disiplin ilmu teoritis. Pada akhir keemasan Islam,
karakteristik kalam (yang bisa disebut sebagai filsafat Islam) ini mendapat
kritik pedas dari Al-Ghazali. Al-Ghazali menilai bahwa kalam merupakan ilmu
yang hanya bisa dipahamai oleh sekelompok golongan tertentu saja atau sebagai
pemenuhan hasrat intelek saja, tidak berorientasi prakis pada kehidupan
sehari-hari.
Karakteristik kalam teoritis ini masih
dapat ditemukan dalam pemikiran Muhammad Abduh, sebagai kalam modern. Namun
akan ditemukan corak yang lain pada pemikiran Muhammad Iqbal. Corak pemikiran
Iqbal bila dilihat secara jeli sebenarnya berorientasi pada wilayah praktis
kehidupan manusia. Melalui dengan paradigma filsafat eksistensialisme, Iqbal
berusaha menemukan satu sosok manusia Muslim yang sempurna (insan kamil) yang
berlandaskan ketauhidan. Pemikiran kalam Iqbal senada dengan perkembangan
filsafat Barat modern; bersamaan dengan lahirnya pemikiran filsafat humanisme
dan eksistensialisme. Seperti halnya dengan pemikiran kalam Muhammad Abduh yang
se-zaman dengan perkembangan sains modern tentang struktur alam yang
dikembangkan dalam Newton dalam paradigma positivisme.
Sebagai kelanjutan dari corak pemikiran
kalam modern yang dikembangkan kedua tokoh pemikir Islam tersebut, lahirlah
sejumlah pemikir kalam dengan corak berpijak pada fenomena sosial (local) yang
kontekstual. Pemikiran ini berkembang dari suatu asumsi bahwa ajaran Islam pada
hakikatnya berifat universal. Ia bisa hidup dan berkembang dalam variasi budaya
yang hidup pada setiap komunitas manusia manapun di dunia ini. Di sinilah ilmu
kalam mulai menyentuh aspek-aspek esensial dalam kehidupan manusia. Ilmu kalam
tidak lagi sekadar pembicaraan tentang wujud dan sifat-sifat Allah yang
metafisis, tapi juga membicarakan persoalan hidup dan kehidupan manusia di
dunia dalam hubungannya dengan aqidah yang dianut umat Islam. Jadi, ilmu kalam
pada masa modern ini kajiannya berupaya merumuskan kerangka ‘teologis’
kehidupan manusia di muka bumi. Sehingga akan terlihat sejauhmana sistem akidah
menjadi landasan bagi kehidupan manusia di muka bumi dalam rangka mencapai kebahagiaan
di dunia maupun di akhirat.
Jika kalam modern bertujuan merumuskan
konsep-konsep teologis kehidupan manusia dalam hubungannya dengan doktrin serta
pengalaman aqidahnya, maka dalam perumusannya tidak bisa melepaskan diri dari
setting sosial budaya masyarakat setempat. Dapat dilihat bahwa salah satu
karakteristik kalam modern tidak lagi sekedar berpijak pada rumusan-rumusan
universal, akan tetapi juga berpijak pada setting budaya lokal. Perumusan kalam
dalam kerangka nilai-nilai universal an-sich akan membawa pada proses
generalisasi terhadap kondisi manusia, hal ini akan membawa pada kecenderungan
berpikir yang bersifat deduktif; sehingga tidak mengakar dalam kehidupan
manusia yang secara riil berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sistem
nilai budaya yang hidup dan berkembang di setiap masyarakat (umat Islam) hidup.
Salah seorang tokoh lokal yang memiliki
pandangan kultural ini adalah Hasan Mustapa, seorang ulama Jawa Barat yang
hidup dipenghujung abad ke-19 atau awal abad ke-20. Bila dilihat dari karyanya,
ia lebih dikenal sebagai seorang sastrawan. Akan tetapi karena inti pemikiran
yang dituangkan dalam karya sastra tersebut sangat bersifat religius, pemikiran
tasawuf dan kalam, dan ia merupakan seorang Penghulu Keagamaan Bandung hingga masa
pengsiunnya (sebelumnya pernah menjadi penghulu Aceh selama tiga tahun), maka
ia pun dikenal sebagai salah seorang tokoh ulama yang memiliki pandangan
keagamaan yang khas.
Pemikiran keagamaan Hasan Mustapa, pada
umunya ditulis dalam bentuk “Dangding”, puisi tradisional berbahasa Sunda, di
samping beberapa pemikirannya ditulis dalam bentuk esai yang ditulisnya dalam
bahasa Sunda, Jawa, dan Arab; dengan tulisan Latin, Arab Pegon, dan Tulisan
Sunda (Hanacaraka), pada umumnya merupakan pemikiran sufistik. Namun demikian
dalam tulisannya yang sufistik tersebut, di dalamnya terdapat unsur-unsur
pemikiran ilmu kalam, kritik terhadap adat dan sistem nilai budaya yang ada,
hidup, dan berkembang dalam masyarakat lokal (Sunda).
Bila dilihat secara sekilas, pemikiran
(ilmu) kalam Hasan Mustapa memiliki corak Asy’ariyah (sebagaimana pada umumnya
mazhab ilmu kalam yang dianut di Indonesia pada saat itu). Namun, apabila
dikaji secara lebih teliti akan ditemukan pemikiran-pemikiran ilmu kalam yang
sangat lain dengan corak Asy’ariyah, bahkan melakukan kritik terhadapnya.
Corak pemikiran ilmu kalam Hasan
Mustapa, berbeda dengan kalam klasik yang berpijak di atas argumen-argumen
rasional dengan menggunakan logika formal Aritoteles. Pemikiran kalam Hasan
Mustapa berpijak di atas kerangka sistem nilai budaya local; sekaligus
melakukan kritik terhadap sistem nilai budaya tersebut dengan analisis yang
khas.
Bila melihat karakteristik metodologi
ilmu kalam Hasan Mustapa dan dibandingkan dengan kecenderungan ilmu kalam
modern ( kontemporer) akan ditemukan dalam corak pemikiran Fazlur Rahman atau
Nurcholis Madjid—yang dikenal sebagai tokoh neo-modernisme. Pengaruh budaya
lokal dalam pemikiran Hasan Mustapa lebih kental dibandingkan dengan tokoh
Muslim modern tadi. Bukan hanya dalam corak serta argumen yang dikemukakannya,
tapi juga pada media penulisan yang digunakannya. Para tokoh ilmu kalam modern
lebih menggunakan metode serta teknik penulisan ilmiah dan filsafat modern,
sedangkan Hasan Mustapa menggunakan teknik penulisan dalam bentuk puisi
tradisonal.
Keadaan seperti inilah yang menyebabkan
Hasan Mustapa dianggap sebagai ulama kontroversial dan dianggap murtad dan
keluar dari Ahlus Sunah Wal Jamaah atau Sunni. Sebab Hasan Mustapa mengkritik
cara berpikir dan cara beragamanya para ulama atau kiayi serta para santri dan
umat Islam pada umumnya. Hasan Mustapa menganggap bahwa umat Islam ketika itu
telah memutlakkan kebenaran kalam; yang sebenarnya merupakan hasil pemikiran
manusia.
Metode dan Corak
Pemikiran Kalam Hasan Mustapa
Seperti disebutkan di atas, selain dalam bentuk esai (bahasa lancaran dan dialog imajiner dengan dirinya sendiri, serta kumpulan surat), pada umumnya tulisan-tulisannya berbentuk ‘dangding’ atau ‘guguritan’. Sebenarnya tidak ada tulisan Hasan Mustapa yang secara khusus merupakan pemikirannya tentang (ilmu) kalam. Pemikiran kalam Hasan Mustapa tertuang dalam sejumlah tulisan yang terungkap secara implisit. Di antara persoalan-persoalan kalam yang banyak diungkap Hasan Mustapa berkernaan dengan Sifat Tuhan dan Nama Tuhan, Kekuasaan Tuhan dalam hubungannya dengan perilaku manusia di dunia. Dalam mengungkap Kekuasaan Tuhan, Hasan Mustapa melihatnya dalam perspektif perilaku dan keterbatasan manusia. Tuhan dalam pandangan Hasan Mustapa diposisikan sebagai sesuatu yang sangat transenden, ia sering menggunakan logita negasi dalam mengungkapnya meski dalam sejumlah ungkapan—ketika berhadapan dengan sejumlah pertanyaanyang bersifat langsung—ia sering menggunakan silogisme yang sangat antropomorfistik.
Selain sering menggunakan cara berpikir
‘negatif’, dalam ‘dangding’ Hasan Mustapa menggunakan pola pembahasan yang
sangat dialektis. Corak berpikir dialektis yang digunakannya sangat khas, yaitu
mendeskripsikan sejumlah paham dan perilaku keagamaan masyarakat tentang suatu
hal dan kemudian mengemukakan sisi lain dari paham tersebut. Selanjutnya Hasan
Mustapa memberikan kepastian (penilaian) yang ia anggap benar tentang masalah
tersebut; tapi selanjutnya ia ambangkan lagi pahamnya itu.
Pola berpikir
seperti ini mengingatkan pada dialektika yang pernah dikembangkan Hegel, yaitu
dialektika aufgehoben, yang mengandung tiga arti: a) mengesampingkan; b)
merawat, menyimpan, bukan ditiadakan melainkan dirawat dalam suatu kesatuan
yang lebih tinggi dan dipelihara, ditempatkan pada dataran lebih tinggi; c) di
mana keduanya (tesa dan antitesa) tidak lagi berfungsi sebagai lawan yang
saling mengucilkan.
Dari aufgehoben itu dapat dikemukakan
ilustrasi berikut ini: tesa mengandung di dalamnya unsur-unsur yang positif dan
yang negatif, akan tetapi unsur-unsur positifnya lebih banyak muncul.
Sebaliknya, antitesa mengandung banyak unsur negatif atau lebih banyak
dibandingkan unsur positif. Di dalam sintesanya segala unsur positif dan
negatif disintesakan menjadi suatu kesatuan yang lebih tinggi. Tentu saja
kemudian sintesa ini dalam perjalanan waktu akan memungkinkan tampak muncul
dalam bentuk positif saja, sehingga ia siap menjadi tesa kembali.
Atas dasar pengemukaan itu dapat
dikemukakan beberapa hal mengenai dialektika. Pertama, berpikir secara
dialektika berarti berpikir dalam totalitas. Yaitu keseluruhan yang mempunyai
unsur-unsur yang saling menegasi (mengingkari dan diingkari), saling
berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi (memperantarai dan
diperantarai). Pemikiran ini menekankan bahwa dalam kehidupan nyata pasti
unsur-unsurnya saling berkontradiksi, bernegasi, dan bermediasi. Tidak mungkin
unsur-unsur itu hanya berdiri sejajar atau bergabung tanpa kontradiksi, negasi
dan mediasi.
Misalnya hubungan antara individu dan
masyarakat. Jika Individu tidak melakukan proses negasi, kontradiksi dan
mediasi dengan masyarakatnya maka individu tidak menemukan dirinya; sebaliknya
masyarakat tidak akan sempurna, tanpa perubahan apa-apa.
Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa
pemikiran dialektis Hegel tidak membatasi bagian demi bagian, namun membiarkan
bagian-bagian itu bertarung satu sama lain. Karena semua unsur dianggap
mempunyai potensi kebenaran jadi tidak boleh ditiadakan begitu saja.
Masing-masing
unsur tersebut dibiarkan saling bernegasi ; dengan saling mengingkari dan
diingkari, setiap unsur berhak mempertahankan dirinya serentak juga makin
memahami kebenaran dirinya, sementara ia juga melihat bahwa unsur lain tidak
boleh dikorbankan demikian saja, justru karena unsur lain tersebut mati-matian
mempertahankan dirinya dengan cara mengingkari lawannya. Lalu unsur tersebut
saling bermediasi, menggunakan apa yang ada dalam lawan sebagai jalan bagi
penemuan dirinya dan sebaliknya.
Maka proses dialektika tidak mengarah
pada sintesa dalam pengertian perpaduan, melainkan mengarah pada tujuan baru
sama sekali, yaitu “rekonsiliasi” (aufgehoben), di mana tercakup pengertian
“pembaharuan”, “penguatan”, dan “perdamaian”.
Dari sisi filsafat ilmu, pola pembahasan
tersebut bisa dipahami bila kita melihat pandangan dasar (asumsi) yang
dijadikan pijakan Hasan Mustapa tentang paham keagamaan, yaitu bahwa
paham-paham manusia tentang ajaran Islam, khususnya yang berkenaan dengan
masalah ghaib lebih merupakan warisan dari generasi sebelumnya; dan lebih dari
itu bahwa manusia sentiasa terjebak dalam sejumlah istilah (lalandian).
Untuk
menjelaskan kecenderungan manusia tersebut Hasan Mustapa merumuskan tujuh
tahapan keislaman (Gelaran Sasaka di Kaislaman), yang terdiri dari Tahapan
Islam:
1.Tahapan Iman
2.Tahapan Soleh,
3.Tahapan Ihsan,
|
4. Tahapan Sahadah,
5. Tahapan Sidikiyah,
6. Tahapan Kurbah
7. Tahapan Mahabah.
|
Setelah melewati
Gelaran Sasaka di Kaislaman, baru manusia menginjak pada tahapan kehidupan
ruhaniah, yang terdiri dati tujuh tingkatan (Martabat Tujuh) yang terdiri dari
1. Ahadiyat,
2. Wahdat,
3. Wahidiyat,
|
4. Arwah,
5. Misal,
6. Ajsam
7. Kainsanan.
|
Berpijak dari
pemahaman Hasan Mustapa tentang tingkat pemahaman dan pengalaman keagamaan
setiap orang, ia tidak pernah memastikan paham mana sesungguhnya yang benar
dalam hal pemahaman Kalam. Setiap orang memahami sesuatu sesuai dengan
tingkatan di mana ia berada. Namun demikian Hasan Mustapa senantiasa menekankan
untuk senantiasa meningkatkan tahapan kehidupan tersebut.
Terdapat
beberapa asumsi dasar yang dapat ditemukan dalam pemikiran keagamaan Hasan
Mustapa. Asumsi-asumsi dasar ini mendasari hampir seluruh pemikirannya, baik
yang berkenaan dengan pemikiran-pemikiran keagamaannya maupun pemikirannya yang
berkenaan dengan adat dan kebudayaan lokal, Sunda.
1. Bahwa Tuhan atau esensi tidak akan berubah karena
berubah nama atau penampilan. Seperti diungkap dalam sebagian dandingnya: “Numatak
timbang taraju, jati teu leungit kulali, paya kudiaya-aya, lalandian nu
pinanggih, dutriat kakalakayan, ingkar ngarangrangan jati”
2. Bahwa keberadaan seseorang dalam masyarakatnya
senantiasa berada dan terjebakan oleh sejumlah lalandian (istilah,
pembahasaan). Lalandian ini telah melahirkan sejumlah persoalan dalam beragama.
Lalandian telah membuat manusia tersesat dan kehilangan orientasi. Hal ini
diungkap Hasan Mustapa dalam dangding-nya:
“Bukurna nu dipibingung, pahili kubarang hiji, nyawa kaleungitan rasa, Lawas kalindih panglandi, marukan lain manehnaenya ge dilain-lain”
“Bukurna nu dipibingung, pahili kubarang hiji, nyawa kaleungitan rasa, Lawas kalindih panglandi, marukan lain manehnaenya ge dilain-lain”
(Bukti yang dipersoalkan, karena samar
dengan dzat yang sama, ruh kehilangan kepekaan, telah lama tertutupi oleh nama,
dikira bukan itu yang dicari, yang benar didianggap salah)
“Kasaung turut lulurung, balik deui-balik deui, sasab dina sisimpangan, ceurik deui-ceurik deui, midangdam neangan Allah, lain deui-lain deui”.
“Kasaung turut lulurung, balik deui-balik deui, sasab dina sisimpangan, ceurik deui-ceurik deui, midangdam neangan Allah, lain deui-lain deui”.
(Terperangkap dalam labirin, senantiasa
kembali ke asal, tersesat di persimpangan, menangis dan menangis lagi, berharap
mencari Allah, bukan dan bukan lagi)
Keadaan tersebut
dikarenakan manusia senantiasa berpijak di atas anggapan-anggapan umum,
masyarakat. Suatu anggapan yang telah melembaga dan bersifat statis. Paham
keagamaan dalam masyarakat yang telah mengakar memang cenderung statis dan
disakralkan. Dalam pengertian bahwa upaya merubah paham tersebut dianggap
berdosa besar, tabu atau pamali. Norma-norma sosial menuntuk setiap individu
untuk senantiasa mengikuti apa yang telah ada semenjak nenek moyangnya.
Mengikuti norma-norma tersebut, dalah suatu hal dianggap positif menurut Hasan
Mustapa. Serta dalam sisi lain dianggapnya negatif.
Hasan Mustapa mengungkapnya dalam dangding:
Mo burung disebut burung, mun teu saenya sa lain, babasan jeung karapihan, cirimah ciri sabumi, cara mah cara sa desa, tuturuti ka panglandi”
(Akan disebut gila, bila tidak seia-sekata, basa-basi dan kerukunan, ciri dengan ciri sekampung, cara dengan cara sedesa, mengikuti kebiasaan).
Mo burung disebut burung, mun teu saenya sa lain, babasan jeung karapihan, cirimah ciri sabumi, cara mah cara sa desa, tuturuti ka panglandi”
(Akan disebut gila, bila tidak seia-sekata, basa-basi dan kerukunan, ciri dengan ciri sekampung, cara dengan cara sedesa, mengikuti kebiasaan).
“Sup
aing campur di kampung, Nurutan aing ngalandi, Ngarah sarua nya basa, Ulah
katara Ngiai, Ilallahu ganti basa, Mun teu ngaji moal ‘alim”
(Ketika
masuk suatu masyarakat, kita mengikuti adat setempat, supaya satu dalam kata,
jangan tampak ekslusif, Ilallahu berubah bahasa, bila tidak mengaji tidak akan
‘alim)
3. Hasan Mustapa
melihat bahwa kehidupan manusia dalam segala hal, khususnya dalam pemahaman,
pengalaman dan pengamalan keagamaan, bersifat bertahap perkembangannya. Hal ini
mengingat (berhubuingan dengan point pertama) bahwa ketika manusia lahir ke
dunia ia terjebak dalam seting sosial-budaya yang telah ada dan melembaga.
Seseorang beragama, pada awalnya, lebih merupakan tuntutan etik dan moralitas
sosial. Baru kemudian setelah mencapai tahap kedewasaan ia akan beragama (atau
tidak beragama) berdasarkan pada kesadaran yang bulat.
Tahapan keberagamaan ini oleh Hasan
Mustapa dijelaskan dalam konsep yang ia sebut sebagai “Gelaran Sasaka di
Ka-Islaman” (Tingkat Capaian Utama dalam Berislam). Tahapan ini terdiri dari
tujuh tahapan. Antara lain: Islam, Iman, Soleh, Ihsan, Sahadah, Sidiqiyah dan
Kurbah. Setalah tercapai tahap terakhir dari tujuh tahap ini (Sidikiyah), bari
ia masuk pada tahapan Sufistik (Ruhaniyah, mistik) yang juga terdiri dari tujuh
tahapan, yaitu Ahadiyat, Wahdat, Wahidiyat, Arwah, Misal, Ajsam dan Kainsanan
(Insan Kamil).
Pemikiran kalam,
dapat ditemukan dalam tujuh tahapan “Gelaran Sasaka di Ka-Islaman”. Yaitu,
tahapan awal (Islam) adalah tahapan pemahaman yang berpijak pada sistem budaya
(keyakinan) masa. Sebagai contoh, digambarkan bahwa tatkala seseorang mencari
pijakan untuk beragama ia masih berpijak pada pemikiran bahwa dengan beragama
(berislam) ia akan dianggap sebagai seorang yang ta’at pada nasihat orang tua,
dan dianggap sebagai orang yang baik, bisa bermasyarakat. Dan yang penting, toh
tidak ada ruginya. Mereka mengimani Allah, karena ada ceritanya; Iman kepada
Malaikat dan Rasul, karena ada Qur’an yang kata para Kyai dibawa oleh para
Malaikat disampaikan pada Rasul; iman kepada Hari Akhirat, sebab ada ceritanya;
dan, iman kepada qada dan qadar yang baik dan buruk, sebab itu semua dari
Allah.
Tahap kedua
(Iman), yaitu tahap di mana seorang Muslim yang mulai melakukan reasoning
terhadap apa yang diyakininya. Tetapi masih berpijak pada argumen-argumen yang
sifatnya commen sense (akal sehat), serta mulai memiliki dugaan positif, bahwa
tidaklah mungkin orang kebanyakan mengatakan seseutau yang salah. Serta, secara
pribadi mulai menggunakan sejumlah argumen rasional (walau sangat sederhana).
Seperti contohnya, bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah, mereka pada
akhirnya sampai pada kesimpulan hal itu adalah mungkin adanya karena tidaklah
mungkin alam semesta ini jadi dengan sendirinya.
Tahap ketiga,
Ihsan. Tahap ini memiliki pola yang sama dengan tahap iman, hanya pada thap
ihsan, seseorang mulai berusaha untuk meningkatkan apa yang telah dicapinya
dengan harapan akan menemukan bukti-bukti dari apa yang diyakininyya. Bila
tidak ditemukan di dunia, berharap hal itu ditemukan di akhirat. Reasioning
terhadap apa yang diyakini menjadi semakin lengkap. Contohnya, mereka
berpendapat bahwa adalah tidak mungkin bila ada sebab tanpa dengan maujudnya,
serta tidak mungkin tanpa dengan kekuasaannya. Dan seterusnya. Dari pemahamn
tersebut, muncul suatu kesadaran lebih tinggi lagi, ia merasa berdosa (salah)
bila tidak melakukan ibadah, sebagai manifestasi rasa syukur. Bahwa menyembah itu
harus kepada wujud yang menjadi sebab bagi adanya diri.
Iraha timbulna suung, Lamun taya musim ngijih, Iraha gumelar supa, Lamun taya catang kai, Iraha nelah kaula, Lamun taya bibit gusti.
Iraha timbulna suung, Lamun taya musim ngijih, Iraha gumelar supa, Lamun taya catang kai, Iraha nelah kaula, Lamun taya bibit gusti.
(Kapan tumbuhnya jamur, kalau tidak ada
musim hujan, Kapan tumbuhnya jamur kayu, bila tidak ada kayu yang membusuk,
Kapan menyebut aku, Kalau tidak ada Tuhan sebagai sebab)
Tahap keempat,
keilima, keenam dan ketujuh: Sahadah, Sidiqiyah, dan Kurbah. Mulai tahap
sahadah sampai tahap kurbah, argumen-argumen yang diajukan lebih pada argumen
yang bersifat “religious experiences”. Hal itu muncul; dari kesadaran bahwa
Allah sebagai sesuatu yang bersifat bathin hanyalah mungkin didekati dengan
“rasa” bukan dengan pengamatan inderawi dan rasio. Ada dan tidak adanya Allah
serta benar atau salahnya agma bukan dengan pengamatan inderawi dan rasio
(akal) akan tetapi dengan budi, rasa dan keyakinan.
Deskripsi tentang Gelaran Sasaka di
Ka-Islaman” (Tingkat Capaian Utama dalam Berislam) tersebut tidak dimaksudkan
untuk memberikan pengertian terhadap istilah-istilah seperti islam, iman,
sholeh, ihsan, sahadah, sidikiyah dan kurbah. Kalau pun itu yang dimaksud Hasan
Mustapa, maka pengertian-pegertian dari istilah-istilah tersebut bukan
pengertian leksikal (terminologis) tapi lebih sebagai pengertian yang diambil
dari (disesuaikan dengan) phenomena prilaku keagamaan masyarakat Sunda.
Bahwa segala
sesuatu di dunia ini, khususnya manusia, berada dalam faktisitas yang tidak
bisa ditawar-tawar. Diantara faktisitas itu antara lain, bahwa segala sesuatu
terjadi dalam proses dan bersifat kausal, serta seluruh prilaku manusia (kasab)
senantiasa diatas hukum-hukum Allah. Hukum Allah tersebut, menurut Hasan
Mustapa, tidak menjadikan manusia kehilangan kebebasannya untuk menentukan
nasib dan eksistensi dirinya. Dalam menjalini kehidupan di dunia, manusia harus
mengetahui caranya, ilmunya. Hal ini tergambar dalam dangding:
“Nasaha nu melak sintung, ngan aya nu melak kitri, duwegan ge saliwatan, geuwat bisi kolot teuing, kaporotan gantri ngaran, deuwegan santri teu amis”.
“Nasaha nu melak sintung, ngan aya nu melak kitri, duwegan ge saliwatan, geuwat bisi kolot teuing, kaporotan gantri ngaran, deuwegan santri teu amis”.
(Siapa yang menanam bunga kelapa, ada
juga yang menanam tunas kelapa (kitri), kelapa muda hanya sesaat, segera
sebelum kehilangan kesempatan, terlambat setelah berubah nama, kelapa muda
santri yang tidak manis).
Dalam dangding tersebut, Hasan Mustapa
berbicara tentang waktu, sebagai batas dari sejumlah kesempatan yang digunakan
oleh manusia. Kesempatan adalah tempat dimana manusia bisa memilih, dan memilih
adalah sisi kebebasan manusia. Dalam proses dan penentuan pilihan itu seorang
individu menetukan nasib masa depannya. Namun demikian pemilihan itu pun sangat
ditentukan oleh cara pandang serta paradigma yang dipakai seseorang.
Hasan Mustapa menggambarkan, bahwa dalam
masyarakat terdapat dua pola atau paradigma dalam menentukan pilihan hidupnya.
Cara-cara tersebut dipegang oleh setiap masyarakatnya secara fanatik, tanpa
melihat adanya kemungkinan lain. Hal ini antara lain digambarkan Hasan Mustapa,
sebagai berikut:
Pertama, cara berpikir menyebelah (ke
kiri atau kanan), mengikuti pola-pola yang dianut masyarakat umum:
“Mun teu macul moal nyatu, teu kucai moal mandi, mun euweuh kejo te mangan, mun teungarah moal ngarih, mun sangsara paeh bangka, mun teu ngulik moal mukti ”
“Mun teu macul moal nyatu, teu kucai moal mandi, mun euweuh kejo te mangan, mun teungarah moal ngarih, mun sangsara paeh bangka, mun teu ngulik moal mukti ”
(Bila tidak mencangkul tidak akan makan,
bila tidak ada air tidak bisa mandi, bila tidak ada nasi tidak akan makan, bila
tidak berusaha tidak akan menanak nasi, bila sengsara akan mati sengsara, bila
tidak berpikir tidak akan kaya)
Kedua, Hasan Mustapa memberikan gambaran
yang bersifat dialektis dengan mengungkap bahwa pola berpikir diatas tidak
selamanya benar karena ada pula orang yang mengambil cara berpikir lain:
“Teu macul teu burung nyatu, paeh titeuleum keur mandi, teu mangan kamerekaan, teu ngarah teu burung ngarih, babatang menak jatnika, mucicid bawaning ngulik”
“Teu macul teu burung nyatu, paeh titeuleum keur mandi, teu mangan kamerekaan, teu ngarah teu burung ngarih, babatang menak jatnika, mucicid bawaning ngulik”
(Tidak mencangkul toh makan juga, mati
tenggelam sendang mandi, tidak makan kekenyangan, tidak berusaha bisa pula
menanak nasi, priyayi pun akhirnya mati, sengsara karena berpikir).
Cara berpikir yang parsial dan panatik
tersebut dikritik Hasan Mustapa, ia mengatakan:
“Katuhu paranti nyatu, kenca paranti susuci, mulya hina duanana, milik aing nu sajati, mun aing beurat sabeulah, tandaning ngalain-lain.
“Katuhu paranti nyatu, kenca paranti susuci, mulya hina duanana, milik aing nu sajati, mun aing beurat sabeulah, tandaning ngalain-lain.
(Tangan kanan untuk makan, yang kri
untuk bersuci, mulya hina keduanya, adalah milik pribadi yang sejati, bila aku
tidak adil, itu artinya meniadakan yang lain)
Sikap menyebelah, yang dikritik Hasan
Mustapa, dalam masyarakat ini juga dalam menyikapi hidup, ketika berhadapan
dengan kegagalan dan keberhasilan hidup. Ketika mendapatkan keberhasilan, orang
cenderung untuk menganggap bahwa keberhasilan itu sepenuhnya sebagai hasil
jerih payah sendiri, sedangkan bila gagal dia sebut itu sebagai takdir.
“Tapi tutur dipitutur, nyebut takdir ka papait, mamanis asa beunangna, lawas dibajalar lali, balukar ngarasula, papait asa pahili”.
“Tapi tutur dipitutur, nyebut takdir ka papait, mamanis asa beunangna, lawas dibajalar lali, balukar ngarasula, papait asa pahili”.
(Tapi adat diikuti, menganggap takdir
pada kegagalan, keberhasilan dianggap hasil usahanya, terlalu lama diajari
lupa, akibatnya kecewa, kegagalan dianggapnya tertuka”
Hasan Mustapa melihat bahwa cara pandang
masyarakat demikian, dikarenakan pola pendidikan agama dan kehidupan yang
salah. Yaitu pola pendidikan yang diberikan orang tua, masyarakat dan para
kiayi dan santrinya.
“Pasaliru nu dimaksud, jeung pasti lain
keur aing, bongan ngalunjak diwarah, ulin dibekelan duit, ngarasula keur teu boga,
da asa duit nu pasti”
(Salah salah tujuan, dan karena pasti
bukan untuk saya, karena melawan dididik, bermain diberi uang, putus asa saat
tidak pailit, karena merdsa uang sebagai kepastian”
Kiayina oge kitu, tepi ka meletik budi, hidayat kapangeranan, heran kubasa kiayi, naha bet nyembah nyabeulah, kumaha jadina hiji”.
Kiayina oge kitu, tepi ka meletik budi, hidayat kapangeranan, heran kubasa kiayi, naha bet nyembah nyabeulah, kumaha jadina hiji”.
(Sang Kiayi juga sama, sampai kehilangan
budi, hidayat ilahi, heran dengan perkataan Kiayi, yang mengabdi secara
parsial/tidak kafah, bagaimana bisa tauhid)
Tampaklah bahwa dalam cara merumuskan
pemikiran Kalamnya, Hasan Mustapa berpijak dari corak pemikiran Kalam Hasan
Mustapa sangat khas kultural, karena ia mengawali pemikirannya dari fenomena
krangka sistem budaya lokal. Kemuadian mengaukan antitesa (alternatif) terhadap
cara pandang dan perilaku keagamaan tersebut. Bila kita membaca atau melihat
pemikiran Hasan Mustapa secara parsial, akan tampak bahwa pemikiran Hasan
Mustapa sangatlah tidak konsisten. Khususnya apabila memahami pemikirannya
tidak dalam konteks sosio-kultural dan tidak melihat pemikiran dan tulisan
tersebut dalam kerangka dialitika yang cukup ketat.
Keketatan Dialektika Hasan Mustafa ini
bisa dilihat lewat kaca mata Aufgehoben Hegel yang dikemukakan di atas. Yaitu
cara berpikir yang tidak saling membatasi seperti rumusan tesa-antitesa-sintesa
yang sering kita pahami sebagai penolakan yang satu atas yang lain. Seperti
dikemukakan di atas bahwa jika tesa bercorak negatif dan antitesa bercorak
positif bukan berarti antitesa membatasi atau menolak tesa. Antitesa hanyalah memunculkan
kemungkinan lain dari bagian tesa yang tak (atau belum) terungkap. Pengungkapan
antitesa ini demi rekonsiliasi antara keduanya untuk memunculkan dua sisi
sesuatu secara utuh.
Hasan Mustapa pun melakukan hal yang
sama dalam penyusunan pemikirannya. Pada HHM, dikemukakan dengan metafor kana
dan kiri sebagai dua sisi yang berbeda pada tangan manusia. Ketika kanan yang
disebut atau dianut dalam sebuah masyarakat, HHM mengemukakan kemungkinan kiri
sebgai sisi lain yang terlupakan untuk kemudian merumuskan realitas tangan yang
sebenarnya. Yaitu keutuhan antara kana dan kiri, yaitu tangan yang utuh.
Metode kerja dialektika ini dilakukan
HHM tidak secara deduktif, dari teori ke teori namun secara induktif, dari
kenyataan ke teori. Ini menarik untuk dibicarakan, karena dialektika sering
dipahami dalam kerangka deduktif, namun di tangan HHM malah kebalikannya.
Mengenai hal ini bisa dicermati pada danding-danding berikut:
Kesimpulan
1.Pemikiran kalam Mustapa masih berbicara dalam terma-terma pemikiran kalam klasik,
1.Pemikiran kalam Mustapa masih berbicara dalam terma-terma pemikiran kalam klasik,
terutama
paham Asy’ariyah, sebagai mazhab Kalam yang dominan dianut umat Islam
Indonesia.
2.Hasan Mustapa berpijak dari pandangan-pandangan serta sistem nilai budaya dan moral masyarakatSunda.
3.Dalam mengajukan pemikiran kalam, Hasan Mustapa mempertemukan antara faham keagamaan dan kecenderungan partialis masyarakat dalam melihat dan mensikapi hidup serta pandangan keagamaannya.
4.Hasan Mustapa senantiasa mengajukan alternatif lain pemikiran kalam secara sangat dialektis, namun sangat adaptif.
2.Hasan Mustapa berpijak dari pandangan-pandangan serta sistem nilai budaya dan moral masyarakatSunda.
3.Dalam mengajukan pemikiran kalam, Hasan Mustapa mempertemukan antara faham keagamaan dan kecenderungan partialis masyarakat dalam melihat dan mensikapi hidup serta pandangan keagamaannya.
4.Hasan Mustapa senantiasa mengajukan alternatif lain pemikiran kalam secara sangat dialektis, namun sangat adaptif.
REFERENSI
1. Nurcholis Madjid, Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi Bumi (Jakarta: IAIN Syarif
1. Nurcholis Madjid, Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi Bumi (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah,
1998).
2) Zurkani Jahya, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996).
3) Harun Hadiwiyono, Sari Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1995).
4) Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Modern (Jakarta: Gramedia, 1993).
5) Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional (Jakarta: Gramedia, 1993).
6) Hasan Mustapa, “Kinantiu Ngahurung Balung” (No.14) dalam Gendingan Dangding Sunda
3) Harun Hadiwiyono, Sari Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1995).
4) Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Modern (Jakarta: Gramedia, 1993).
5) Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional (Jakarta: Gramedia, 1993).
6) Hasan Mustapa, “Kinantiu Ngahurung Balung” (No.14) dalam Gendingan Dangding Sunda
Birahi
Katut Wirahmana (Bandung: Jajasan Kudjang, 1976).
7) Ajip Rosidi (Ed.), Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana (Bandung: Pustaka,
7) Ajip Rosidi (Ed.), Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana (Bandung: Pustaka,
Oleh AHMAD SAHIDIN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walau pun
terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai kebiasaan,
bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al-Quran. Yang
ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam
Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas
budi pekerti yang agung” (QS.Al-Qalam : 4).
Kata akhlak banyak ditemukan di dalam
hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. salah satunya hadis yang berbunyi: “Aku hanya
diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Bertitik tolak dari pengertian bahasa
ini, akhlak bisa dimaknai sebagai kelakuan manusia yang beraneka ragam.
Keanekaragaman kelakuan ini antara lain, nilai kelakuan yang berkaitan dengan
baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan.
Kecenderungan manusia kepada kebaikan
terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan
zaman. Perbedaan—jika terjadi—terletak pada bentuk, penerapan, atau pengertian
yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral, yang disebut ma’ruf dalam
bahasa Al-Quran. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan,
atau keangkuhan. Pun tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada
kedua orang-tua adalah buruk. Tetapi, bagaimana seharusnya bentuk penghormatan
itu? Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu
masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi yang lain.
Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam
kerangka prinsip umum, maka ia tetap dinilai baik (ma’ruf).
Kembali kepada persoalan kecenderungan
manusia terhadap kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir,
hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. pun antara lain menginformasikannya: “Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah), hanya saja kedua orang-tuanya
(lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR.Bukhari).
Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW.
bernama Wabishah bin Ma’bad
berkunjung kepada Nabi Saw., lalu beliau menyapanya dengan bersabda:
“Engkau datang menanyakan kebaikan?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab Wabishah.
“Tanyailah hatimu! Kebajikan adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang tenteram terhadap hati. Sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa” (HR Ahmad dan Ad-Darimi).
berkunjung kepada Nabi Saw., lalu beliau menyapanya dengan bersabda:
“Engkau datang menanyakan kebaikan?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab Wabishah.
“Tanyailah hatimu! Kebajikan adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang tenteram terhadap hati. Sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa” (HR Ahmad dan Ad-Darimi).
Pengertian akhlaq menurut para ahli :
1. Imam Ghazali dalam kitab ulumuddin,
akhlaq adalah suatu gejala kejiwaan yang sudah mapan dan menetap dalam jiwa,
yang dari padanya timbul dan terungkap perbuatan dengan mudah, tanpa
mempergunakan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.
2. Ibnu Maskawaih dalam kitab tahzibul
akhlaq watathirul araq, mendifinisikan bahwa akhlaq itu sebagai sikap jiwa
seserorang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui
pertimbangan pikiran.
3. Prof. Ahmad Amin, mendifinisikan
akhlaq adalah adatul iradah (kehendak yang dibiasakan) lalu menjadi kelaziman
(kebiasaan).
Adapun ruang lingkup akhlaq terbagi
dalam beberapa bagian :
1. Akhlaq terhadap Kholik
Allah menciptakan manusia hanya untuk
menghiasi dan meramaikan dunia. Tidak hanya sebagai kelengkapan, tetapi
berfungsi sebagai makhluk. Allah SWT adalah Al-Khaliq (Maha pencipta) dan
manusia adalah makhluk (yang diciptakan). Manusia wajib tunduk kepada peraturan
Allah. Hal ini menunjukkan kepada sifat manusia sebagai hamba. Kewajiban
manusia terhadap Allah SWT Di antaranya :
Kewajiban diri kita terhadap Allah, dengan ibadah shalat, dzikir, dan doa
Kewajiban keluarga kita terhadap Allah, adalah dengan mendidik mereka , anak dan isteri agar dapat mengenal Allah dan mampu berkomunikasi dan berdialog dengan Allah.
Kewajiban diri kita terhadap Allah, dengan ibadah shalat, dzikir, dan doa
Kewajiban keluarga kita terhadap Allah, adalah dengan mendidik mereka , anak dan isteri agar dapat mengenal Allah dan mampu berkomunikasi dan berdialog dengan Allah.
Kewajiban harta kita dengan Allah adalah
agar harta yang kita peroleh adalah harta yang halal dan mampu menunjang ibadah
kita kepada Allah serta membelanjakan harta itu dijalan Allah.
2. Akhlaq terhadap Mahkluk
Prinsip hidup dalam Islam termasuk
kewajiban memperhatikan kehidupan antara sesama orang-orang beriman. Kedudukan
seorang muslim dengan muslim lainnya adalah ibarat satu jasad, dimana satu
anggaota badan dengan anggota badan lainnya mempunyai hubungan yang erat. Hak
orang Islam atas Islam lainnya ada 6 perkara :
Apabila berjumpa maka ucapkanlah salam
Apabila ia mengundangmu maka penuhilah undangan itu
Apabila meminta nasehat maka berilah nasihat
Apabila ia bersin lalu memuji Allah maka doakanlah
Apabila ia sakit maka tengoklah
Apabila ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya.
Apabila ia mengundangmu maka penuhilah undangan itu
Apabila meminta nasehat maka berilah nasihat
Apabila ia bersin lalu memuji Allah maka doakanlah
Apabila ia sakit maka tengoklah
Apabila ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya.
Akhlaq terhadap makhluk terbagi menjadi
3 bagian:
1. Akhlaq terhadap diri sendiri.
Manusia yang bertanggung jawab ialah pribadi yang mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri . bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang dipikul diatas pundaknya, kewajibannya –kewajibannya : tanggungjawab terhadap kesehatannya, pakaiannya, minuman & makanannya dan bahkan yang menjadi apa yang menjadi miliknya.
Manusia yang bertanggung jawab ialah pribadi yang mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri . bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang dipikul diatas pundaknya, kewajibannya –kewajibannya : tanggungjawab terhadap kesehatannya, pakaiannya, minuman & makanannya dan bahkan yang menjadi apa yang menjadi miliknya.
2. Akhlaq terhadap Ibu & Bapak
Seorang muslim wajib memberi penghormatan yang secukupnya terhadap ayah dan ibunya. Memelihara mereka dihari tuanya, mencintai mereka dengan kasih sayang yang tulus serta mendoakan setelah mereka tiada.
Seorang muslim wajib memberi penghormatan yang secukupnya terhadap ayah dan ibunya. Memelihara mereka dihari tuanya, mencintai mereka dengan kasih sayang yang tulus serta mendoakan setelah mereka tiada.
Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan
oleh Abi Hurairah ra Nabi bersabda : yang artinya “ seorang laki-laki menghadap
Rasulullah SAW Saw dan menanyakan siapakah yang berhak atas penghormatan dan
perlakuan baik dari seseorang ?”
“Rasulullah SAW menjawab ibumu
“Lalu laki-laki itu bertanya lagi kemudian siapa pula ya Rasulullah SAW, Rasulullah SAW menjawab ibumu”
“Laki –laki itu bertanya lagi, kemudian sipa pula ya Rasulullah SAW , Rasulullah SAW menjawab, “Ibumu, Ibumu, ibumu”.
“Rasulullah SAW menjawab ibumu
“Lalu laki-laki itu bertanya lagi kemudian siapa pula ya Rasulullah SAW, Rasulullah SAW menjawab ibumu”
“Laki –laki itu bertanya lagi, kemudian sipa pula ya Rasulullah SAW , Rasulullah SAW menjawab, “Ibumu, Ibumu, ibumu”.
Ketika laki-laki itu menambah
pertanyaannya, “siapa lagi ya Rasulullah SAW?” Beliau menjawab, “ayahmu”. Dari
hadis ini jelas bahwa tugas dan penghormatan yang wajib diberikan kepada ibu
adalah tiga kali lipat dari penghormatan yang diberikan kepada bapaknya.
Selain harus berperilaku baik dalam
kehidupan manusia, akhlak juga melingkupi cara bersikap terhadap alam,
binatang, tumbuhan, kepada yang ghaib, dan semesta alam.
A.
Pendahuluan
Persoalan
metodologi dan metode merupakan persoalan yang sangat signifikan dalam sejarah pertumbuhan
ilmu. Pemahaman terhadap metodologi dan metode akan sangat
mempengaruhi laju kemajuan dunia ilmu.
Dalam
kerangka ini, perlu diketahui bahwa pada abad pertengahan, Eropa menghabiskan waktu seribu
tahun dalam keadaan stagnasi dan masa kebodohan. Namun
kondisi semacam itu berubah secara revolusioner, terjadi kebangkitan di berbagai bidang kehidupan, sains, seni, politik, ekonomi dan
seterusnya.
Ali
syari’ati (1933 – 1977), seorang intelektual dari iran, menyatakan bahwa faktor utama yang
menyebabkan stagnasi pemikiran, peradaban, dan kebudayaan abad itu adalah metode – metode yang nantinya akan ditempuh guna lebih
mendalami obyek ilmu.
Metode
ilmiah dibangun dari cara berpikir deduktif dan induktif. Dengan deduktif diharapkan mampu
memberikan sifat rasional kepada pengetahuan ilmiah dan
bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan berpikir induktif adalah untuk
memberikan pembenaran empirik kepada pengetahuan yang
telah dirasionalisasi oleh berpikir deduktif. Kedua hal
ini sangat penting. Tanpa salah satu dari pemikiran tersebut, maka ilmu itu akan pincang.
Metode
ilmiah setelah pengetahuan diberikan penjelasan rasional / deduktif, sebelum teruji secara empirik
/ induktif semua penjelasan tersebut hanyalah bersifat sementara,
penjelasan sementara ini biasa kita sebut dengan istilah hipotesis. Sebenarnya kita dapat mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai
dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik.
Didalam
terapan ilmiah, obyeklah yang menentukan metode dan bukan sebaliknya, metode
menentukan obyek misalnya : ada pendapat bahwa suatu gejala yang tak bisa dikualifikasikan, tidak dapat dinilai sebagai suatu
gejala yang dapat dipandang sebagai obyek studi ilmiah.
Lain pendapat mengatakan bahwa suatu gejala yang tidak
memungkinkan dilaksanakannya metode eksperimen, juga tidak dapat dijadikan obyek studi ilmiah.1tidak memungkinkan dilaksanakannya
B.
Permasalahan
1 Fuad hassan dan koentjaraningrat, dalam (koentjaraningrat, 1997 : 7
– 9)
1. Apakah perbedaan antara metodologi dan metode ilmu?
2.Bagaimanakah pengaruh metodologi dan metode keilmuan dari Ilmu
Tauhid
Amali dalam laju dunia ilmu?
C.
Pembahasan
1. perbedaan antara metodologi dan metode ilmu
Istilah
metode berasal dari bahasa Yunani (meta = sepanjang dan hodos = jalan) di atas memang
berarti jalan menuju: oleh karena itu, menurut Menne. Yang dimaksud dengan metode ialah prosedur atau cara, yang dengannya tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya dapat dicapai secara
efektif.
Sebagai
bagian utuh dari proses alih keberagamaan masa rasul ke masa modern ini, ilmu tauhid
amali harus menerima posisi Al – qur’an dan sunnah. Penolakan
terhadapnya akan dengan sendirinya menggugurkan status sebagai pemeluk ajaran islam dan
mengubah status perilaku iman. Al – qur’an dan sunnah didudukkan
sebagai sumber pertama dan utama
dalam metode ilmu ini.
Kitab
suci Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang – orang bertakwa.2 Pengertian yang perlu
didalam kosa kata “ petunjuk” adalah unsur sebagai sumber dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh orang
beriman. Pengertian sumber ini berarti didalamnya
ditemukan bahan – bahan yang diperlukan oleh Ilmu Tauhid
Amali, agar memenuhi fungsinya sebagai pendukung proses alih keberagamaan. Disini diperlukan tafsir dengan metode yang dapat
diterima, dan terutama adalah tafsir dengan metode yang
memungkinkan pengembangan pemahaman, mengembangkan
potensi ilmu tersebut3.
Diantara
ragam metode ilmu tafsir yang memiliki potensi adalah tafsir Al – ilmi, disamping metode –
metode lainnya. Melalui metode tafsir ini posisi Al – Qur’an
dan sunnah sebagai sumber kebenaran bagi Ilmu Tauhid Amali dapat semakin
dikembangkan dengan telaah tentang struktur logis dari ayat dan
proposisi yang terkandung didalamnya.
Sedangkan
pengertian metodologi ilmu adalah ilmu mengenai metode. Dalam pengertian yang lebih luas,
metodologi membahas prosedur intelektual dalam totalitas komunitas
ilmiah.
munculnya
metode maupun metodologi keilmuan yang berbeda untuk ikut
berkontestasi
dalam mengembangkan suatu disiplin keilmuan dirasa lebih berguna.
2 (Rasyid Ridho, 1987 :87).
3
(muslim. Kadir, 2003 : 89)
Konsekuensinya, apapun
hipotesis maupun teori yang digunakan, baik itu rasional maupun yang paling tidak
masuk akal, harus diakui secara sebagai sebuah bagian dari metodologi keilmuan.
Kemudian
tolak ukur keberhasilan dari teori-teori yang baru tersebut tidak harus selalu mengekor teori
lama, ataupun harus mengacu kepada suatu bentuk yang dianggap
mendekati sempurna. Kemunculan teori-teori baru itupun sudah dianggap sebagai kemajuan karena memang sangat sulit untuk memunculkan
paradigma- paradigma lain dengan berbagai faktor akademis
maupun budaya dan politik yang ikut mengekang jalannya
suatu keilmuan. “Ada pemisahan
antara negara dan agama, tapi tidak ada pemisaha antara
negara dan ilmu pengetahuan.”.4
2.Pengaruh Metodologi dan Metode Keilmuan dari Ilmu Tauhid Amali
dalam
Laju Dunia Ilmu
Kerangka
berfikir dan metodologi klasik yang tekstualistik dan mengalami proses mistifikasi, untuk
masa kini tampaknya tidak lagi diharapkan mampu memberikan
jawaban pemecahan atas berbagai persoalan kehidupan yang senantiasa berjalan bersama dengan proses perubahan kehidupan yang terus
bergulir. Realitas yang tak terbantahkan menunjukkan
bahwa produk-produk pemikiran tradisional kaum muslimin tidak mampu membawa perubahan ke arah yang
lebih baik.
Keadaan
ini seharusnya menyadarkan kaum muslimin untuk menelaah kembali tradisi pemikiran
mereka secara kritis. kaum muslimin harus membangun kembali
konstruksi keilmuan dan metodologinya sebagaimana yang pernah dimiliki..
Ilmu-ilmu Islam harus dikembangkan untuk dapat memasuki
wacana-wacana kontemporer dengan menggunakan metodologi
yang relatif lebih sesuai dengan perkembangan modernitas
dan intelektualitas manusia modern.
Beberapa
metode yang pernah digunakan kaum muslimin awal sudah waktunya untuk digali dan
diaktualisasikan kembali.Pertama
adalah cara pandangan dikotomistik antara ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum harus sudah diakhiri,. Kedua,
pandangan-pandangan yang selama ini berkembang bahwa “ijtihad” telah tertutup dan tidak mungkin ada lagi orang yang mampu menandingi
kwalifikasi intelektual generas awal, juga perlu ditinjau
kembali. Untuk hal ini tentu saja dituntut kesediaan dan
keberanian kaum muslimin untuk melakukan kerja-kerja intelektual yang mampu menerobos kebuntuan-kebuntuan dinamika kaum muslimin.
4 Paul Feyerabend,
Feyerabend%20dan%20Anarkhisme%20Metodologi%20«%20SAV%20Independent%20Voice.htm
Makalah Ilmu Tauhid Amali
Produk
– produk penemuan ilmiyah berikut metodologinya pada dasarnya bukanlah sesuatu yang
eksklusif. Penemuan ilmu pengetahuan pada dasarnya berlaku bagi siapa saja dan di mana saja. Setiap penemuan ilmiyah oleh
siapapun, terlepas dari latarbelakangnya, sepanjang
dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia, harus dapat
diapresisasi oleh kaum muslimin dan dipandang sebagai produk-produk yang
Islami.
Kedua adalah pendekatan empiris. Pendekatan ini menunjukkan realitas
sebagai kebenaran yang tidak
dapat diingkari. Al Syafi’i, pendiri mazhab fiqh, telah menggunakan metode ini
untuk keputusan-keputusan fiqhnya, misalnya ketika ia melakukan
penelitian untuk menentukan masa haid dan kedewasaan seseorang. Dalam wacana fiqh, metode ini dikenal dengan sebutan “istiqra”. Metoda ini dapat digunakan
bukan hanya untuk disiplin ilmu-ilmu alam dan pasti tetapi juga untuk untuk disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora. Ibnu Taimiyah dengan
tegas menyatakan : “al haqiqah fi al a’yan la fi al zhan”
(hakikat kebenaran terletak pada wilayah realitas-empiris
dan bukan pada wilayah spekulasi intelektual). Pengakuan atas
kebenaran realitas empiris juga dikemukakan oleh Al Razi al Syafi’i. Ia mengatakan :”Secara jujur harus dikatakan bahwa kebenaran makna teks
harus didasarkan pada bukti-bukti empiris dan
sumber-sumber yang “mutawatir”.
Ketiga, sumber-sumber otoritas keagamaan perlu dikaji dan dianalisis
melalui
pendekatan konteks bahasa
(al siyaq al lisani), konteks sejarah social (siyaq al zhuruf wa al ahwal al ijtima’iyah)
dan kebudayaan (siyaq al ahwal al madaniyah) ketika teks- teks tersebut diturunkan atau disampaikan. Pendekatan ini menjadi
sangat penting untuk dapat memahami teks secara benar.
Sebab tidak satu tekspun yang dapat melepaskan diri dari
kondisi-kondisi, ruang dan waktu. Ia tidak mungkin diturunkan atau disampaikan dalam ruang yang hampa. Teks bagaimanapun diarahkan
kepada orang baik secara individual maupun kolektif dalam nuansa-nuansa, zaman dan tempat tertentu. Konsekwensi logis dari pendekatan ini adalah bahwa
keputusan ilmiyah pada suatu masa dan suatu tempat tidak
bisa selalu relevan dengan tempus dan lokus yang lain. Tidak dapat diingkari siapapun bahwa alam
selalu memperlihatkan perubahan-perubahan yang tidak
pernah berhenti. Dalam arti lain kehidupan manusia selalu
dalam proses perubahan yang terus menurus, sebuah proses yang
dinamis. Pendekatan teks melalui konteks kesejarahan dewasa ini dikenal dengan istilah pendekatan kontekstual.
Keempat, kaum muslimin tidak seharusnya menutup diri dari pikiran-pikiran
dan produk-produk ilmiyah
orang lain hanya karena mereka berbeda agama, jika ia memang bermanfaat. Sikap
eksklusif adalah bertentangan dengan norma ilmu pengetahuan.
Watak ilmu pengetahuan adalah terbuka bagi siapa saja dan di mana saja. Pada sisi lain sikap ini juga tidak sejalan dengan anjuran Nabi
Muhammad saw yang menyatakan :”uthlubu al ‘ilma wa lau bi
al shin” carilah ilmu pengetahuan walaupun di negeri
Cina. Nabi juga menyatakan : “Al Hikmah dhallah al Mukmin Haitsu ma wajada al mukmin dhallatah falyujmi’ha ilaihi” (ilmu
pengetahuan adalah barang yang hilang dari tangan kaum
muslimin. Maka jika dia menemukannya hendaklah dia mengambilnya
kembali”. Di sinilah tugas kaum muslimin sekarang; mengambil
kembali supermasi ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki di manapun dia melihatnya di Timur maupun di Barat, dan bukannya menutup diri
atau bahkan menolaknya hanya karena mereka adalah ”the
others”.
3.
Kesimpulan
metode
ialah prosedur atau cara, yang dengannya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dapat dicapai
secara efektif. Sedangkan pengertian metodologi ilmu adalah ilmu mengenai metode.
metode
yang pernah digunakan kaum muslimin awal sudah waktunya untuk digali dan diaktualisasikan
kembali.Pertama adalah cara
pandangan dikotomistik antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum harus sudah diakhiri,Kedua adalah pendekatan empiris, pendekatan ini menunjukkan realitas sebagai
kebenaran yang tidak dapat diingkari,Ketiga, sumber-sumber otoritas keagamaan perlu
dikaji dan dianalisis melalui pendekatan konteks bahasa
(al siyaq al lisani), konteks sejarah social (siyaq al
zhuruf wa al ahwal al ijtima’iyah) dan kebudayaan (siyaq al ahwal al madaniyah) ketika teks-teks tersebut diturunkan atau disampaikan,Keempat, kaum muslimin
tidak seharusnya menutup diri dari pikiran-pikiran dan produk-produk ilmiyah orang lain hanya karena mereka berbeda agama, jika ia memang
bermanfaat.
4.
Penutup
Demikian
makalah yang dapat kami sampaiakan kurang lebihnya mohon di maafkan, kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan, jika ada kesalahan mohon
di ingatkan dan dibenarkan, sebagai perbaikan kami ke depan. Semoga apa yang tertera disini bisa membawa manfaat untuk kita semua dan bisa
menambah wawasan kita semua dalam kompeterensi terkait.
5.Referensi
♠Moh. Dzofir, M.Ag, Ulya,
M.Ag, Adri Efferi, M.Ag, Ilmu Tauhid Amali,
proyek
peningkatan Perguruan Tinggi Agama Islam/STAIN Kudus
♠Soegeng Hardiyanto, Metodologi
Keilmuan:Pengenalan Awal Sebuah
Pemahaman
♠Husein Muhammad, Mengambil
Kembali Keilmuan Islam yang Hilang,
Tuesday, 21 October 2008,(fahmina%20institute%20cirebon%20-
%20Mengambil%20Kembali%20Keilmuan%20Islam%20yang%20Hilang
.htm)
%20Mengambil%20Kembali%20Keilmuan%20Islam%20yang%20Hilang
.htm)
♠Feyerabend dan Anarkhisme
Metodologi
(Feyerabend%20dan%20Anarkhisme%20Metodologi%20«%20SAV%20I
ndependent%20Voice.htm)
Mohon masukanya....!!
BalasHapusSumber-sumber Aqidah Yang Benar dan Manhaj Salaf dalam Mengambil Aqidah.
BalasHapusSelasa, 23 September 2013
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Aqidah adalah tauqifiyah. Artinya, tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar'i, tidak ada medan ijtihad dan berpendapat di dalamnya. Karena itulah sumber-sumbernya terbatas kepada apa yang ada di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebab tidak seorang pun yang lebih mengetahui tentang Allah, tentang apa-apa yang wajib bagiNya dan apa yang harus disucikan dariNya melainkan Allah sendiri. Dan tidak seorang pun sesudah Allah yang lebih mengetahui tentang Allah selain Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam.
Oleh karena itu manhaj Salafus Shalih dan para pengikutnya dalam mengambil aqidah terbatas pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka segala apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang hak Allah mereka mengimaninya, meyakininya dan mengamalkannya. Sedangkan apa yang tidak ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah mereka menolak dan menafikannya dari Allah. Karena itu tidak ada pertentangan di antara mereka di dalam i'tiqad. Bahkan aqidah mereka adalah satu dan jama'ah mereka juga satu.
Karena Allah sudah menjamin orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan Sunnah RasulNya dengan kesatuan kata, kebenaran aqidah dan kesatuan manhaj. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, ..." (Ali Imran: 103)
"Maka jika datang kepadamu petunjuk daripadaKu, lalu barangsiapa yang mengikut petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)
Karena itulah mereka dinamakan firqah najiyah (golongan yang selamat). Sebab Rasulullah telah bersaksi bahwa merekalah yang selamat, ketika memberitahukan bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan yang kesemuanya di Neraka, kecuali satu golongan. Ketika ditanya tentang yang satu itu, beliau menjawab:
"Mereka adalah orang yang berada di atas ajaran yang sama dengan ajaranku pada hari ini, dan para sahabatku." (HR. Ahmad)
Kebenaran sabda baginda Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam tersebut telah terbukti ketika sebagian manusia membangun aqidahnya di atas landasan selain Kitab dan Sunnah, yaitu di atas landasan ilmu kalam dan kaidah-kaidah manthiq yang diwarisi dari filsafat Yunani dan Romawi maka terjadilah penyimpangan dan perpecahan dalam aqidah yang mengakibatkan pecahnya umat dan retaknya masyarakat Islam.